Tinta Terakhir

Judul : Tinta Terakhir
Gendre : Cerpen Religi, Romance, Remaja
Pengarang : Riki Bahari

Tinta Terakhir

“Braakkk!!!” seketika terdengar pecahan gelas kaca yang terhempas begitu keras. Hitamnya kopi panas di dalam gelas itu pun ikut terhempas terlukis bebas di dinding putih ruang tamuku. Tangan ayah terlihat mengepal erat seakan menahan amarah yang begitu kuat. Aku semakin merasa iba dan sedih melihat ibu yang hanya bisa diam dan ketakutan dengan sikap ayah yang pemarah. Kondisi seperti ini sudah menjadi hal biasa di dalam keluargaku. Entah sampai berapa lamakah tangan ini mampu untuk mengusap air mata yang terus mengalir di pipi ibu. Apalah daya, aku hanya seorang anak perempuan yang tak berdaya. Di mata ayah aku selalu dipandang sebelah mata. Terkadang aku sangat merasa sedih melihat ayah yang lebih sayang kepada saudara – saudaraku yang disana. Hasrat dalam hati aku ingin meluapkan emosiku terhadap ayah. Namun bagaimanapun dia tetaplah ayahku yang wajib aku hormati. Mungkin kini hal satu – satunya yang bisa aku lakukan adalah meluapkan emosiku di sini, di buku harian ini. 
19 Januari 2011. Maryam.



Itulah catatan pertama Maryam yang ia tuangkan ke dalam buku hariannya. Aku sedikit merasa lega karena kini Maryam sudah mempunyai tempat untuk berbagi cerita yaitu di buku hariannya. Aku masih sangat ingat betul saat dulu
pertama kali aku mengenalnya.

Saat itu aku sedang mengunjungi sebuah acara pameran hasil lomba poster islami di daerah Bekasi. Aku merasa sangat bersyukur karena poster karyaku bisa dipajang di acara bergengsi tersebut. Walaupun hasil karyaku bukanlah sang juara pertama.

“Aneh sekali, kenapa poster yang tidak jelas ini bisa menjadi juara dua?? Padahal masih banyak poster – poster lain yang lebih bagus” Celoteh seseorang dengan memandangi salah satu poster yang sedang dipamerkan.
“Ekhm… Poster itu akan terlihat lebih jelas jika seseorang melihatnya dari sisi lain” ucap diriku tepat di belakang orang tersebut.
“Dari sisi manapun poster ini hanya sebuah poster yang bergambar dua buah permen tongkat dan beberapa lalat – lalat kecil. Apanya yang istimewa?” orang tersebut semakin memperkuat argumennya bahwa poster di depannya itu jelas – jelas tak istimewa bahkan terlihat aneh.
“Coba kamu perhatikan kedua permen tersebut. Permen yang sebelah kiri terlihat sudah dibuka bungkusnya dan permen yang sebelah kanan masih rapih terbungkus pelastik. Lalu coba kamu perhatikan lalat -  lalat itu, kita lihat bahwa lalat – lalat itu lebih menyukai permen yang bungkusnya terbuka.” Akupun mulai mencoba untuk menjelaskan poster tersebut.
“Lalu apa hubungannya dengan Islam? Bukannya ini adalah lomba poster Islami?” terlihat orang itu semakin bingung dengan apa yang saya ucapkan.
“Jelas tidak ada sama sekali hubungannya dengan Islam. Karena itu hanya sebuah perumpamaan saja. Kedua permen itu kita umpamakan sebagai seorang wanita. Permen yang dibungkus merupakan perumpamaan dari wanita yang berhijab. Sedangkan permen yang tidak dibungkus merupakan perumpamaan wanita yang tak berkerudung. Dan kita umpamakan lalat – lalat itu adalah seorang laki – laki. Sekarang tentu kamu bisa tahu kan maksud dari poster itu?” jelas diriku kepadanya.
“Oh..”  orang itu menjawab singkat dan hanya bisa terdiam.
“Sebenarnya tidak perlu aku jelaskan semua itu. Toh penjelasannyakan sudah ada tepat di bawah poster itu, makanya budayakan membaca ya mbak hehe” seru aku dengan tawa kepada orang tersebut.
“Enak saja panggil mbak! Emang aku embakmu apa?!. Namaku Maria” rupanya orang itu tersinggung atas ucapanku kepadanya.
“Oh.. Sorry – sorry. Hi Maryam. Ekh.. Maria maksudnya. Kenalkan namaku Yusuf. Dan satu hal yang perlu kamu tahu, akulah orang yang membuat poster aneh dan jelek itu” balas diriku dan langsung memperkenalkan diri kepadanya.

Setelah mendengar penjelasanku entah mengapa gadis itu hanya terdiam. Kini tepat dihadapanku aku melihat seorang gadis yang sedang tersipu malu. Sejak itulah pertama kali aku mengenal dan mengetahui namanya. Dan entah kenapa aku lebih suka memanggil dia dengan sebutan Maryam dibandingkan dengan Maria.

Waktu berlalu begitu cepat, tak menyangka bahwa aku semakin akrab dengan Maryam. Menurutku Maryam (Maria) adalah sosok perempuan yang sangat berbeda dengan perempuan – perempuan lainnya. Satu hal yang sangat aku suka dari kepribadiannya yaitu sikap kritis dan rasa ingin tahunya yang sangat tinggi. Walau kami terpisahkan jarak dan waktu, namun komunikasi di antara kami selalu terjaga dengan baik. Setiap hari kami selalu berbalas pesan melalui email. Hal yang sering dibicarakan oleh kami tak lain adalah mengenai keindahan – keindahan dan keistimewaan islam.
***

Esok adalah hari kemenangan bagi semua umat islam. Keluargaku terlihat sangat sibuk mempersiapkan semuanya untuk menyambut hari raya. Ada hal yang membuat aku semakin bersyukur dan bahagia, bahwa ternyata esok juga bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke 21. Sungguh ini merupakan hadiah terindah dari Allah SWT.

Malam ini langit begitu sangat indah. Terlihat taburan bintang ikut menari menyambut hari kemenangan. Batin ini terasa semakin sejuk mendengar lantunan nama Allah yang terdengar dari setiap peloksok negeri. Fajar mulai menampakan dirinya, semua umat muslim berduyun – duyun memenuhi masjid untuk melaksanakan sholat eid. Aku semakin merasa bahwa islam itu sempurna ketika aku melihat semua lapisan masyarakat bisa tersenyum bahagia. Entah itu yang kaya, yang miskin, yang punya jabatan, maupaun yang tak punya jabatan semuanya bisa ikut merasakan indahnya lebaran. Itulah alasan mengapa kita perlu mengeluarkan infak, zakat, dan sedekah. Semua itu tak lain adalah untuk kebahagian mereka yang membutuhkan. Subhanallah… begitu sempurnanya islam dalam mengatur kehidupan manusia.

“Happy Birthday to you…2x Happy Birthday.. 3x to you” Aku sangat terkejut ketika melihat Maryam datang menghampiriku membawa sebuah cup cake sembari menyanyikan lagu ulang tahun untukku.

“Selamat ulang tahun ya Yusuf” ucap Maryam kepadaku.
“Ko kamu tahu hari ini aku ulang tahun??” balas diriku masih dengan ekspresi terkejut dan bingung.
“Seorang Maria masa ulang tahun sahabatnya sendiri gak tau, hehe. Udah buruan tiup lilinnya dan ucapkan sebuah doa” seru Maryam sembari menyodorkan cup cake itu kepadaku.

Tak perlu menunggu lama langsung saja kupejamkan kedua mataku, ku ikrarkan dalam hati sebuah doa yang kuharap bisa menjadi kenyataan.

“Ya Allah terimakasih atas semua rizkimu. Ampunilah dosa – dosaku. Dan… Aku berharap semoga Maryam diberikan hidayah-Mu agar dia bisa berhijab. Aamiin” selesai berdoa ku lanjutkan dengan meniup lilin kecil itu. Namun belum juga aku tiup, lilin itu ternyata sudah mati lebih dulu karena tertiup angin.

“Yaaah.. lilinnya mati, kamu sih doanya kepanjangan jadi keburu mati tuh lilinnya. Ya udah ini kue nya.. Maaf ya kue nya kecil banget hehe” seru Maryam
“Ekh… tunggu.. jangan dibuang lilinnya!!” seketika aku teriak kepadanya.
“Loh kenapa??” bingung Maryam.
“Mubazir.. buat mati lampu aja..” senyum aku kepadanya.

Di bawah pohon beringin yang begitu rindang tepat di sebuah bangku taman berwarna cokelat Maryam dan aku sedang duduk berdua. Namun ada yang aneh dengan kami berdua. Tak seperti biasanya akrab saat berbalas email, sekarang entah mengapa ada sebuah kecanggungan diantara aku dan Maryam. Bibir ini masih terlihat merapat enggan memulai untuk membicarakan sesuatu. Sesekali aku memperhatikan paras Maryam secara diam – diam. Masya Allah Maryam sungguh sangat cantik apalagi jika ia berkerudung. Ya Allah hamba tau ini merupakan sebuah zinah mata. Astaghfirullah… Ampunilah dosa hamba ya Allah. Tapi setelah aku perhatikan ada yang aneh terhadap wajah Maryam.

“Maryam ada apa dengan pipi kamu?” Tanya diriku heran.
“Oh.. ini… mungkin kena gigitan nyamuk jadi agak merah – merah sedikit” balas Maryam sembari memegang kedua pipinya.
Sejenak aku terdiam.
“Oh., kirain kenapa” senyum manis diriku padanya.

“Ini buat kamu…” ku berikan bunga sebuah bunga sepatu berwarna merah kepada Maryam.
“Kenapa kamu petik!!?” seketika Maryam marah kepadaku.
“Loh ko? Kenapa? Kan bunganya masih banyak jadi tidak akan jadi masalahkan jika aku petik satu buat kamu?” balas diriku dengan terheran – heran.

“Lihat.. Bunga yang kamu petik itu belum 100% mekar! Menurut artikel yang aku baca, di dalam Islam kita tidak boleh merampas hak makhluk hidup. Baik itu hak seseorang, hak hewan bahkan hak tumbuhan. Bunga itu berhak mekar seutuhnya. Bukannya malah kamu petik!!. Seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang dan memetik bunga sebelum mekar karena jika kita melakukan hal demikian berarti kita telah merampas kesempatan makhluk hidup untuk mencapai tujuan dari pencipta-Nya yaitu Allah SWT.” dengan detail Maryam menceramahiku.
“Masya Allah ternyata kamu lebih banyak tahu daripada aku, aku semakin bangga padamu Maryam hehe. Ya Allah maafkanlah hamba atas kekhilafan dan ketidaktahuan hamba” balas diriku.

Keesokan harinya masih ditempat yang sama aku dan Maryam mencoba untuk berbicang – bincang kembali. Aku harap sekarang aku bisa mengobrol santai dengan dirinya. Sudah 20 menit aku menunggu kedatangan Maryam. Tak bosan – bosan mataku melirik jam tangan. Dan sekarang sudah tepat 1 jam berlalu. Aku dan Maryam sepakat akan bertemu di taman pukul 2 siang, namun kini waktu sudah menunjukan pukul 3. Maryam belum juga terlihat. Untuk mengusir kejenuhan, aku putuskan untuk berkeliling taman sejenak.

Kini akupun kembali duduk manis menunggu Maryam datang. Ku lirik jam tangan ternyata sudah menujukan pukul 3 lewat 5 menit. Disaat aku melamun sendiri menunggu hal yang tak kunjung datang. Tiba – tiba seorang gadis menghampiriku. Dari sisi penampilannya dia terlihat seperti seorang gadis baik - baik, apalagi ditambah dengan kerudung putih yang menututpi auratnya. Seketika gadis itu menghampiri dan memanggil namaku.

“Yusuf..” seru gadis itu
“Iya??” balas diriku dengan wajah bingung
“Maaf ya aku udah buat kamu nunggu lama” seru gadis itu
“Tunggu.. ini Maryam??” Tanya diriku untuk memastikan bahwa gadis itu adalah benar Maryam.
“Iya ini aku Yusuf… kenapa? Aku terkesan aneh ya kalo pake kerudung?? Yah.. percuma dong aku pusing berjam – jam cari kerudung yang cocok buat aku pakai. Ternyata aku makin aneh ya????” seru gadis itu yang ternyata adalah Maryam.
“Masya Allah.. sungguh.. sungguh kamu 1000 kali lipat lebih cantik dari Maryam yang dulu aku kenal” balas diriku dengan terkagum – kagum
“Wah.. yang benar saja kamu itu Yusuf… Kamu terlalu berlebihan” balas Maryam tersipu malu
“Ya Allah terimakasih doa hamba terkabulkan.. Yeeessss!!!” bisik diriku pelan bersyukur kepada Allah.
“Doa? Doa apa???” bingung Maryam
“Oh.. bukan apa apa…, ya udah silahkan duduk” balas diriku dengan senyum sumringah kepada Maryam.

Tak henti – hentinya di dalam hati aku berucap syukur kepada Allah SWT karena Maryam sudah diberikan hidayah yang sangat luar biasa. Akupun langsung membuka pembicaraan. Aku mulai menanyakan dengan detail alasan Maryam sampai di titik hidayah ini.

“Karena Allah telah berikan hidayah-Nya melalui kamu.. Yusuf” dengan nada lembut Maryam mengucapkan sebuah kalimat pendek yang mampu menyejukan kalbuku.
“Melalui aku??” bingung diriku
“Iya… melalui dirimu. Kamu merupakan laki - laki yang sangat berbeda. Berbeda dengan laki – laki yang dulu – dulu aku kenal. Semenjak aku mengenalmu.. Perlahan aku menemukan berkas – berkas cahaya hidayah dari Allah. Sungguh selama ini aku telah menyia – nyiakan waktuku.” Jelas Maryam.
“Hehehe.. Aku jadi malu.., Oh iya ada sesuatu yang aku ingin berikan padamu.. tunggu sebentar” Seru diriku dan langsung mengambil sebuah kotak dari dalam tasku.
“Itu apa? Sekarangkan bukan hari ulang tahunku? Kenapa kamu kasih aku hadiah??” bingung Maryam
“Ini bukanlah hadiah tapi ini kenang – kenagan dariku. Cobalah dibuka aku harap kamu suka” balas diriku
“Sebuah buku harian kosong??” bingung Maryam
“Iya… Aku harap kamu bisa mencurahkan semua perasaan keluh kesahmu di dalam buku itu. Bebas kamu mau tulis apapun itu. Semoga bisa bermanfaat buat kamu” seru diriku.
“Oh.. Syukron Yusuf” tersenyum Maryam kepadaku.
“Wiihh… jago sekali bahasa arabmu Maryam hehehe..” seru aku
“Hehehe.. setidaknya mulai sekarang aku belajar bahasa arab sedikit demi sedikit hehe. Oh iya makasih ya buat nama baru yang kamu berikan yaitu “Maryam”” seru Maryam
“Iya sama – sama.. nama itu cocok untuk kamu yang berparas cantik sesuai dengan Siti Maryam” seru aku
“Bohong… bilang aja kalo kamu mau aku puji balik bahwa kamu juga teramat tampan layaknya Nabi Yusuf. Hu….” Ledek Maryam.
“Emang tampan?!” balas ejek dengan menjulurkan lidahku.
“Tunggu sebantar ya Aku mau pergi ke toilet dulu” seru Maryam tergesa – gesa menuju toilet.

Lama sekali aku menunggu kembalinya Maryam sampai suara adzan Asyar memanggil. Aku memutuskan untuk sholat terlebih dahulu. Selesai sholat akupun mulai menunggu kembali. Satu jam lebih aku menunggu sampai adzan memanggil untuk kedua kalinya. Selesai sholat maghrib aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Sayang sekali aku tak punya kontak Maryam selain alamat emailnya. Dulu aku sempat untuk meminta nomor HP nya tapi aku tidak berani melakukan hal itu.

Satu bulan berlalu… Satu bulan pula aku mencoba menghubungi Maryam lewat email, namun masih belum ada jawaban dari Maryam. Entahlah mungkin hari itu merupakan hari terakhir diriku bertemu dengan Maryam.
***

Aku tidak bisa lupakan semua peristiwa yang terjadi pada hari ini. Peristiwa dimana aku mulai kehilangan semangat hidup. Kini keretakan yang dari dulu sudah terlihat perlahan mulai parah dan pecah. Pertengkaran hebat antara ibu dan ayah terjadi kembali. 

“Kamu itu gak ngerti apa – apa!!!” teriak papah kepada ibu.
“Kamu yang gak ngerti mas. Lihat anak kita udah besar! Apakah pantas kita bertengkar di depan Maria?!!. Kalo kamu masih berat dengan keluarga barumu yang disana silahkan ceraikan saja aku mas!!. Aku sudah cape hidup dimadu. Mana janjimu yang akan adil dalam segala hal!! Apakah ini yang dinamakan adil?! Jawab mas!!!” ucap Ibu dengan nafas tersendak – sendak dan kini mata yang semula berkaca – kaca pecah ruah menjadi satu dengan sebuah emosi perasaan ibu yang sangat kecewa.
“Sudah mah.. sudah..” seketika aku memeluk ibu dan mencoba untuk menenangkannya.

Awalnya aku ingin tetap tegar menghadapi masalah ini, namun setelah aku melihat wajah ibu dipenuhi kesedihan. Tangiskupun tak terbendung lagi. 

“Ibu maafin aku.. aku belum bisa buat ibu bahagia..” dengan tangis terbata – bata aku berbisik meminta maaf kepada ibuku.
“Pah!! Coba papah bersikap bijak dan adil terhadap ibu!! Mana papah yang dulu aku kenal? Mana? Sekarang yang dihadapanku ini bukanlah papahku. Papahku gak pernah bikin ibu sesedih ini!!” teriak emosi aku di hadapan papah.
“Diam Kau!!” teriak papah dengan posisi tangan seakan mau menamparku.
“Hentikan Mas!!!! Kamu sudah keterlaluan!” teriak ibu kepada ayah.

Aku sempat tidak percaya dengan semua ini. Mengapa ayah tega melakukan hal demikian. Aku sangat kecewa kepada ayah. Tangannya yang dulu teramat sangat lembut dalam memberikan belaian kasih dan sayang, kini berubah menjadi tamparan keras dengan luapan emosinya. Sungguh ayah yang dulu aku kenal sekarang sudah tak ku kenali lagi.

“Maria!!” seketika teriak ibu saat melihat aku terjatuh pingsan tak sadarkan diri.

Entah kenapa kepalaku tiba – tiba sangat pusing. Badanku seakan lemas tak berdaya. Hingga aku menyadari bahwa hidupku sudah tak lama lagi. Saat itu ketika aku tersadar dari pingsan, aku mulai mengetahui semuanya. Kecurigaanku dari awal mulai terjawab. Tak sengaja aku mendengarkan percakapan kedua orang tuaku dengan seorang dokter. Ternyata aku sudah lama menderita penyakit yang sangat menakutkan. Mungkin kesempatan hidup pada orang yang menderita penyakit itu sangat kecil. Aku difonis menderita penyakit lupus. 
24 September 2015. Maryam.

Aku sempat tidak percaya bahwa dibalik sikap kritis penuh semangat dari Maryam tersimpan sebuah beban yang sangat berat. Aku hanya bisa membaca buku harian Maryam dengan diam tanpa kata.
***

Dua bulan berlalu, harapanku terhadap keluargaku rupanya sudah tak ada lagi. Kini aku harus hidup pincang tanpa seorang ayah. Pincang akan semua kasih sayang ayah yang dulu pernah aku miliki. Akhirnya kedua orang tuaku memutuskan untuk bercerai. Ayah lebih memilih tinggal bersama istri keduanya dan meninggalkan aku dan ibuku. 

Aku sangat menghargai dan menerima semua jalan dari Allah. Walaupun hidupku difonis menderita penyakit yang sangat menakutkan, dan harus menjalani sisa – sisa umurku di dalam sebuah keluarga yang tak sempurna, namun aku selalu mencoba untuk semangat dan menerima keadaan yang ada. Dengan semua masalah ini aku bisa belajar. Belajar arti sebuah keikhlasan. Belajar memahami arti sebuah hidup yang sebenarnya. 

Satu hal yang tidak bisa aku lupakan dalam catatan kehidupanku. Anugerah Allah yang sangat luar biasa. Yusuf, adalah teman terbaikku bahkan sahabat terbaikku. Darinya aku menemukan sebuah penerangan dari kabut yang mebutakanku terhadap agama. Yusuf adalah laki – laki baik, aku tidak mau memberikannya beban. Cukup aku disini yang merasakan semuanya. 

Rupanya nikmat Allah tak bisa aku hitung lagi. Aku sangat bersyukur ketika Allah hadirkan sebuah anugerah perasaan itu ke dalam kalbuku. Entah apakah aku salah jika aku terus merasakan dan menahan rasa yang tak biasa ini. Aku hanya bisa mengaguminya dalam diam seperti kisah Siti Fatimah dan Ali. 

Ditengah – tengah aku menulis kepalaku seketika mulai pusing kembali. Dan kulihat kini tetesan darah dari hidungku mulai menetes kembali. Aku semakin panik,  kucari sebuah tissue di dalam laci namun kotak tissue itu tenyata sudah kosong. Darah mulai melumuri kerudung putihku. Aku merasa bahwa aku sudah tidak sanggup lagi. Namun satu hal yang harus kulakukan, aku harus tetap menyelesaikan tulisanku. Ada satu kalimat yang belum sempat aku tulis. Dengan segera kuraih pulpen itu, namun ternyata tinta pulpen yang kugunakan sudah habis.

"أنا أحبك" (Tertulis dengan bertintakan darah)

28 Desember 2015. Maryam

Entah apa yang harus aku katakan. Air mata ini sudah tak sanggup lagi aku tahan. Aku tidak bisa mengatakan semua perasaanku saat ini setelah membaca semua tulisan Maryam. Aku hanya bisa diam duduk merenung di bangku taman. Jalan Allah memang rumit, namun aku tahu ada sebuah keindahan tersimpan dibalik semua itu. Dan satu lagi.. Jika Maryam mendengarku dari surga sana aku hanya ingin mengatakan kepadanya bahwa aku juga teramat sangat mengaguminya dari awal pertama kali bertemu. Namun aku hanya bisa menunggu dalam iman. Aku hanya bisa menitipkan rinduku dalam doa.

Related Posts

Tinta Terakhir
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.

Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>